Anak Muda Cangkruk Lelucon

Hari Ketujuh: Awan Itu Berbentuk Ayam Goreng

Jagad masih ingat betul, di hari pertama puasa, dia berkata dengan lantang kepada teman-temannya,
“Puasa itu bukan sekadar menahan lapar dan haus, tapi juga menahan hawa nafsu. Ini perjalanan spiritual, Bung!”

Kini, di hari ketujuh, dia duduk lemas di teras. Kepalanya terasa berat, tubuhnya lunglai, dan yang lebih parah, dia mulai melihat hal-hal yang tidak seharusnya ada di langit.

“Sumpah, tadi awan itu bentuknya seperti paha ayam KFC…” gumamnya pelan.

Rasanya baru kemarin dia merasa seperti seorang sufi yang siap menghadapi Ramadan dengan penuh kesadaran spiritual. Sekarang? Bahkan dia mulai mempertanyakan keputusan hidupnya. Kenapa manusia harus makan? Kenapa warung padang buka di siang hari? Kenapa waktu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya?

Antara Iman, Lapar, dan Godaan Setan yang Sebenarnya Sudah Dirantai

Bukan cuma Jagad yang mulai merasa berat. Teman-temannya pun sudah mulai menunjukkan tanda-tanda “kemunduran iman”.

Hari pertama dan kedua, mereka semua rajin tarawih. Masjid penuh, lantunan ayat suci berkumandang, dan mereka merasa begitu dekat dengan Tuhan. Hari ketiga masih cukup ramai, tapi beberapa orang sudah mulai absen. Masuk hari kelima, ada yang lebih memilih tiduran di kamar daripada ke masjid.

Di grup WhatsApp, teman Jagad, Bayu, mengirim pesan:
“Bro, tarawih itu sunah. Tidur juga sunah. Kalau tidur saat tarawih, berarti dapat dua sunah sekaligus. Win-win solution.”

Jagad menatap layar ponselnya dengan kosong. Ada keinginan untuk membalas dengan dalil, tapi otaknya terlalu lelah untuk berpikir. Dia hanya mengetik: “Neraka juga ada slot buat yang banyak alasan.”

Namun dalam hati, dia tahu, semangat memang sering datang di awal. Di minggu pertama, semua terasa baru, penuh semangat. Tapi seiring waktu, kebiasaan mulai terbentuk, lalu berubah jadi rutinitas. Dan rutinitas yang terasa berat akan berubah jadi beban jika tidak dijalani dengan hati.

Sahur: Dari Penuh Gairah Menjadi Sekadar Formalitas

Kalau awal puasa sahur terasa seperti pesta, di hari ketujuh, suasana sudah berubah drastis.

Hari pertama, semua orang bangun tepat waktu, makan sahur dengan menu lengkap, bahkan ada yang sambil nonton kultum. Jagad sendiri semangat, makan nasi padang dengan rendang dan sambal hijau.

Hari ketiga mulai turun level. Sahur sekadarnya, asal ada yang dikunyah.

Hari ketujuh? Alarm berbunyi, tapi Jagad hanya mengangkat kepalanya sebentar, melihat jam, lalu berbisik ke dirinya sendiri, “Lima menit lagi…”

Ketika akhirnya bangun, adzan subuh sudah berkumandang. Dia hanya bisa menatap kosong ke arah dapur yang gelap, menyesali keputusan hidupnya.

Temannya, Dani, mengirim pesan di grup:
“Besok kita coba sahur pakai air putih aja, biar lebih khusyuk.”

Jagad membalas cepat: “Besok aku sahur pake air mata aja sekalian.”

Tarawih yang Semakin Lengang

Tarawih pun mulai terasa berbeda.

Di awal Ramadan, masjid penuh sesak. Bahkan yang biasanya tidak pernah ke masjid tiba-tiba jadi jemaah paling depan. Suasana ramai, shaf penuh, sandal berantakan di pintu masuk.

Sekarang? Masjid mulai terasa lapang. Imam masih membaca surat panjang, tapi makmum sudah mulai resah. Ada yang pura-pura batuk saat rakaat ganjil biar bisa kabur sebelum witir.

Jagad mulai menyadari pola ini. Setiap tahun, skenario yang sama terulang. Seakan ada siklus spiritual yang menurun seiring berjalannya waktu. Seperti bensin yang mulai habis setelah perjalanan jauh.

Namun, ada satu pertanyaan yang mengganggunya: apakah ini hanya kebiasaan manusia, atau sebenarnya ujian tersembunyi dalam puasa?

Perjuangan Masih Panjang, Bung!

Sambil berbaring di teras, Jagad mencoba memotivasi dirinya sendiri. Ini baru seminggu, masih ada tiga minggu lagi. Kalau sekarang saja sudah lelah, bagaimana nanti?

Tiba-tiba Bayu mengirim pesan lagi:
“Bro, katanya yang paling berat itu minggu kedua. Minggu ketiga udah mulai biasa. Minggu keempat malah sedih karena mau lebaran.”

Jagad menghela napas panjang. Mungkin benar. Ini hanya fase. Seperti hidup, Ramadan juga ada naik turunnya. Yang penting bertahan, dan jangan sampai iman ikut puasa.

Lalu dia berpikir, mungkin Ramadan memang seperti perjalanan panjang di padang pasir. Di awal, semangat masih menyala. Di tengah jalan, ujian mulai terasa. Tapi justru di titik inilah ketahanan diuji—apakah akan bertahan hingga tujuan atau menyerah di tengah jalan?

Karena sejatinya, Ramadan bukan tentang kuat di awal, tapi tentang bagaimana bisa tetap bertahan sampai akhir.

Dia menatap langit lagi. Awan berbentuk paha ayam itu masih ada.

“Kuat, Jagad. Kuat…” bisiknya pelan, sebelum akhirnya tertidur di teras dengan perut keroncongan.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW