Budaya Kasepuhan Ragam

Ruwahan: Perjalanan Pulang yang Tak Pernah Selesai

Di Jawa, ada satu masa dalam setahun ketika angin bertiup lebih pelan, seolah membawa bisik-bisik dari masa lalu. Orang-orang berjalan ke makam dengan kepala tertunduk, membawa bunga, dupa, dan doa-doa yang sudah dihapal sejak kecil. Inilah Ruwahan, sebuah perjalanan pulang yang tak pernah selesai—bukan ke rumah-rumah berdinding bata, tapi ke ruang-ruang kenangan di mana para leluhur menunggu dalam keabadian.

Sebelum Puasa, Kita Mengingat

Di kalender Jawa, bulan sebelum Ramadan disebut Ruwah. Namanya diambil dari kata “arwah”, yang merujuk pada roh atau jiwa leluhur. Bagi orang Jawa, bulan ini bukan sekadar masa transisi menuju puasa, tetapi juga waktu khusus untuk merenung dan mengingat asal-usul. Sebelum memasuki Ramadan yang suci, mereka lebih dulu menyucikan hati dengan meruwat—membersihkan makam, merapikan doa, dan merajut kembali hubungan dengan mereka yang telah mendahului.

Ruwahan bukan hanya sekadar kebiasaan turun-temurun. Ia adalah bentuk kesadaran bahwa hidup kita hari ini tak bisa dilepaskan dari sejarah panjang yang dibangun oleh mereka yang sudah tiada. Setiap nama yang terukir di nisan bukan sekadar identitas, tetapi cerita yang masih menyisakan jejak di dalam diri kita.

Bulan ini, rumah-rumah akan lebih sering dipenuhi dengan lantunan doa. Keluarga berkumpul, memasak makanan khas, dan mengundang tetangga untuk slametan—sebuah ritual berbagi berkah dengan membaca doa bersama. Pada saat yang sama, orang-orang berbondong ke makam untuk melakukan Nyadran atau Nyekar, ritual menziarahi leluhur dengan bunga dan harapan.

Nyadran: Makam Bukan Sekadar Kuburan

Nyadran berasal dari kata “sradha”, yang dalam bahasa Sanskerta berarti keyakinan atau penghormatan kepada leluhur. Ini adalah ritual yang sudah dilakukan sejak zaman Majapahit, jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara. Dahulu, tradisi ini berakar dari ajaran Hindu-Buddha, di mana keluarga akan mempersembahkan sesaji dan doa untuk arwah leluhur. Seiring berjalannya waktu, ajaran Islam mengadaptasi kebiasaan ini dengan mengisinya dengan tahlil dan doa-doa Islami.

Bagi orang Jawa, makam bukan sekadar tempat peristirahatan terakhir, tetapi juga ruang pertemuan antara yang hidup dan yang telah tiada. Ketika seseorang berdiri di depan pusara kakek, nenek, atau orang tuanya, ada sesuatu yang lebih dari sekadar batu nisan yang membisu. Ada kenangan yang tiba-tiba bangkit, ada doa yang mengalir tanpa diminta, ada rasa rindu yang mendadak terasa lebih nyata.

Dalam Nyadran, setiap orang punya perannya sendiri. Anak-anak membantu membersihkan area makam, menyapu dedaunan kering, dan menaburkan bunga dengan tangan mungil mereka. Para ibu menyiapkan makanan untuk slametan, sementara para bapak memimpin doa dengan suara lirih, menggetarkan udara di antara nisan yang berbaris rapi.

Di beberapa daerah, Nyadran juga menjadi semacam reuni keluarga. Orang-orang yang merantau akan pulang, mengajak anak-anak mereka untuk mengenal akar dan sejarah keluarga. Ini bukan sekadar ritual spiritual, tetapi juga sarana pendidikan: mengajarkan generasi muda untuk tidak melupakan asal-usulnya, untuk tetap menghormati mereka yang telah berjasa dalam perjalanan hidup ini.

Slametan Ruwahan: Makan Bersama, Doa Bersama

Selain Nyadran, masyarakat Jawa juga menggelar Slametan Ruwahan—acara doa bersama yang biasanya diikuti dengan makan bersama. Dalam tradisi ini, makanan bukan sekadar santapan, tetapi simbol dari makna yang lebih dalam.

Salah satu makanan khas yang sering hadir dalam Slametan Ruwahan adalah apem—kue manis berbentuk bulat yang terbuat dari tepung beras dan santan. Konon, kata “apem” berasal dari bahasa Arab “afwan”, yang berarti maaf. Apem menjadi simbol permohonan ampunan kepada leluhur, sekaligus doa agar yang masih hidup bisa menjalani kehidupan dengan lebih baik.

Selain apem, ada juga kolak—makanan berbahan dasar pisang dan santan yang juga sering muncul di bulan Ruwah. Kata “kolak” dipercaya berasal dari “khalaq”, yang berarti pencipta. Kolak menjadi simbol pengingat agar manusia selalu ingat kepada Tuhan sebagai Sang Pencipta.

Di meja makan yang penuh dengan hidangan, generasi tua dan muda duduk bersama, berbagi cerita tentang leluhur mereka. Seorang nenek mungkin akan bercerita tentang kakek yang dulu seorang pejuang. Seorang paman mungkin akan mengenang masa kecilnya bersama ayah yang telah tiada. Percakapan ini mengalir begitu saja, seperti riak air di sungai yang tak pernah berhenti.

Dan di situlah makna Ruwahan semakin terasa: ini bukan sekadar ritual tahunan, tetapi sebuah pengikat antara masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Makna Ruwahan: Kematian yang Dekat, Kehidupan yang Bermakna

Ruwahan mengingatkan kita bahwa kematian bukan sesuatu yang asing. Dalam kepercayaan Jawa, kehidupan dan kematian adalah bagian dari siklus alam yang tidak bisa dipisahkan. Seperti daun yang gugur untuk memberi ruang bagi tunas baru, seperti malam yang selalu datang sebelum fajar, kematian bukanlah akhir—melainkan babak baru dari perjalanan yang lebih panjang.

Di dunia modern ini, di mana semuanya bergerak serba cepat, Ruwahan memberi kita kesempatan untuk berhenti sejenak. Untuk mengingat bahwa kita bukan hanya makhluk yang sibuk mengejar target hidup, tetapi juga bagian dari garis panjang sejarah yang harus dihormati.

Ketika kita menabur bunga di atas makam, kita sedang mengirim pesan kepada leluhur: bahwa mereka tidak dilupakan. Ketika kita melantunkan doa, kita sedang menghubungkan diri dengan sesuatu yang lebih besar dari diri kita sendiri.

Dan mungkin, di satu titik nanti, saat kita sudah tak lagi ada di dunia ini, generasi setelah kita akan melakukan hal yang sama—menziarahi pusara kita, mendoakan kita, mengingat cerita-cerita kita.

Ruwahan adalah perjalanan pulang yang tak pernah selesai. Sebuah perjalanan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.

Jadi, kalau nanti kamu melihat orang-orang berjalan ke makam di bulan Ruwah, atau mendengar doa-doa lirih di rumah-rumah tua, ingatlah: ini bukan sekadar ritual tahunan, tapi juga cara kita merawat ingatan. Karena pada akhirnya, manusia hidup selama ia masih dikenang.

Dan dalam setiap bunga yang ditabur, dalam setiap doa yang dipanjatkan, dalam setiap cerita yang diceritakan ulang—leluhur kita masih ada, masih menemani, masih pulang bersama kita.

Selamat menyambut Ramadan, selamat merawat kenangan.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW