Anak Muda Cangkruk Politik Ragam

Gondrongisme: Sebuah Dosa Sosial yang Tak Terampuni (?)

Dunia ini penuh dengan misteri. Ada hal-hal yang bisa dijelaskan dengan logika, seperti kenapa kopi bisa bikin melek atau kenapa uang 50 ribu di awal bulan terasa banyak tapi di akhir bulan lebih mirip struk belanja. Namun, ada juga hal-hal yang tidak bisa dijelaskan dengan nalar sehat, seperti kenapa rambut panjang pada laki-laki dianggap sebagai sebuah masalah sosial yang lebih besar daripada jalanan berlubang atau harga cabai yang naik turun sesuka hati.

Ya, mari kita bicara tentang gondrongisme. Sebuah aliran hidup yang tak terdaftar di Kementerian Agama, tapi pengikutnya banyak. Sebuah keputusan estetika yang sering kali dianggap sebagai bentuk kenakalan, pemberontakan, bahkan—ini yang parah—ketidakbecusan dalam hidup.

Gondrong: Sebuah Dosa Sosial yang Mengancam Keharmonisan Semesta

Pernahkah kalian melihat orang tua menghela napas panjang hanya karena anaknya mulai malas potong rambut? Atau mungkin mengalami sendiri momen ketika pulang kampung dan disambut dengan komentar semacam:

> “Wah, sekarang kok kayak preman?”

> “Mau jadi apa sih kalau gondrong gini?”

> “Udah mirip Tarzan, kapan cukur?”

Padahal, kalau dipikir-pikir, rambut ini tumbuh di kepala kita sendiri. Bukan di kepala mereka, bukan juga di kepala sapi perah yang harus dipotong demi kesejahteraan peternak. Tapi kenapa urusan panjang atau pendeknya rambut bisa memicu keresahan sosial yang lebih besar daripada masalah gaji UMR yang gak naik-naik?

Di mata sebagian masyarakat, rambut panjang adalah simbol kemalasan, ketidakjelasan hidup, bahkan tanda-tanda mulai menyimpang dari jalan yang benar. Kenapa? Mungkin karena kita kebanyakan nonton film lama di mana semua penjahat, begundal pasar, atau pembunuh bayaran selalu digambarkan berambut gondrong, pakai jaket kulit, dan merokok dengan tatapan tajam ke arah korban.

Padahal, kalau mau jujur, koruptor yang ngerampok duit rakyat itu rambutnya rapi, klimis, dan sering pakai jas. Tapi entah kenapa, stigma gondrong masih lebih berat dosanya.

Gondrong Adalah Pilihan, Bukan Pelanggaran Undang-Undang

Coba kita lihat beberapa contoh nyata dalam kehidupan. Albert Einstein? Gondrong. John Lennon? Gondrong. Ki Hajar Dewantara? Gondrong. Bahkan Pangeran Diponegoro yang dulu melawan penjajah juga gondrong. Masa iya, mereka semua dianggap pemuda sesat yang tidak tahu arah hidup?

Tapi tetap saja, kalau kita gondrong, stigma pertama yang menempel adalah “tidak beres.” Mau jadi pengusaha? “Potong dulu rambutnya, biar keliatan profesional.” Mau wawancara kerja? “Sayang nih, kalau rambutnya pendek pasti lebih diterima.” Mau kenalan sama calon mertua? “Dikira pengangguran nanti.”

Lucunya, ada kondisi di mana gondrong dianggap oke. Misalnya kalau jadi musisi. Rambut gondrong mendadak keren kalau kita pegang gitar dan bisa nyanyi. Tapi kalau cuma gondrong doang tanpa bakat tambahan? Hati-hati, kita masuk kategori pengangguran berbakat.

Filosofi Gondrong: Perlawanan Sunyi terhadap Ketidakadilan Standar Sosial

Rambut gondrong bukan sekadar rambut yang lupa dipotong. Ia adalah simbol. Simbol dari kebebasan berpikir, dari keengganan untuk tunduk pada standar yang absurd.

Kenapa perempuan boleh panjang rambutnya tapi laki-laki tidak? Kenapa pria gondrong dicap urakan, sementara wanita berambut panjang disebut anggun? Ini bukan cuma soal estetika, tapi juga soal keadilan sosial. Kalau rambut panjang pada laki-laki dianggap tidak beres, maka ada sesuatu yang salah dengan cara kita melihat manusia.

Lalu, kalau ada yang bilang, “Tapi kan itu norma yang sudah ada di masyarakat?”
Nah, ini masalahnya. Kadang masyarakat suka lupa kalau norma itu bukan kitab suci. Ia bisa berubah, bisa berkembang. Dulu, pakai celana jeans robek dianggap gak sopan, sekarang malah jadi tren. Dulu, perempuan tidak boleh sekolah, sekarang justru bisa jadi profesor.

Kalau ada yang berargumen, “Tapi laki-laki gondrong terlihat kotor dan berantakan,” maka jawabannya sederhana: bukan gondrongnya yang salah, tapi orangnya yang malas keramas. Gondrong bukan sinonim dari jorok, sama seperti rambut pendek bukan jaminan seseorang itu wangi.

Gondrong, Hak Asasi yang Tidak Harus Dimintakan Izin

Pada akhirnya, gondrong hanyalah rambut yang dibiarkan tumbuh, bukan tanda bahwa seseorang sedang tersesat dalam hidup. Orang sukses bisa gondrong, orang malas bisa gondrong, bahkan orang biasa yang sekadar ingin menikmati hembusan angin di sela-sela rambutnya juga bisa gondrong.

Jadi, buat kalian yang masih merasa gondrong itu sebuah kejahatan moral, coba pikir ulang. Apakah benar rambut panjang lebih mengganggu daripada mulut orang yang suka ngurusin hidup orang lain? Apakah benar rambut yang tumbuh alami lebih berbahaya dibanding janji-janji palsu politisi?

Pada akhirnya, hidup ini terlalu singkat untuk dihabiskan dengan memikirkan panjang rambut orang lain. Lagipula, kalau Tuhan menciptakan rambut yang bisa panjang, mungkin itu adalah kode bahwa kita punya hak untuk menikmatinya.

Jadi, buat kalian yang gondrong, tetaplah gondrong dengan bangga. Buat yang masih ragu-ragu, cobalah sesekali membiarkan rambut tumbuh. Siapa tahu, kalian malah menemukan filosofi hidup di balik tiap helainya.

Dan buat yang masih berkomentar negatif soal gondrong? Santai, kami yang gondrong gak akan marah. Kami cuma akan tersenyum, lalu membiarkan rambut kami berkibar tertiup angin kebebasan.

Janu Wisnanto

Janu Wisnanto

About Author

Penulis partikelir pojokan Sleman

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Jangan ketinggalan Update dari kami

    Kami akan mengirimkan anda update terbaru dari Layanglayang Merah.

    LLM @2024. All Rights Reserved. | Developed with love ISW