Malam merambat pelan, membawa ketenangan di tengah sawah yang luas. Di depan surau tua yang berdiri kokoh meski termakan usia, dua sosok duduk berhadapan. Lampu minyak yang tergantung di tiang surau memancarkan cahaya remang-remang, menemani perbincangan yang akrab.
Jagad, pemuda penuh semangat dengan tubuh tegap, duduk bersila di atas tikar pandan. Di depannya, Mbah Karno, lelaki tua dengan wajah keriput penuh pengalaman, menghisap rokok kreteknya pelan-pelan. Aroma asap bercampur dengan harum kopi hitam yang baru saja diseduh.
“Mbah,” Jagad membuka pembicaraan, suaranya rendah tapi penuh rasa ingin tahu, “Kenapa perjuangan itu sering terasa berat? Kadang, aku merasa apa yang kulakukan sia-sia.”
Mbah Karno menatap pemuda itu dengan senyum bijak. Ia meniupkan asap rokoknya perlahan ke udara, lalu meneguk sedikit kopi hitamnya. “Jagad, kau tahu kenapa sawah itu bisa hijau seperti sekarang?” tanyanya sambil menunjuk ke arah hamparan padi yang mulai menguning.
Jagad mengerutkan kening. “Karena petani bekerja keras menanam dan merawatnya, Mbah.”
“Betul,” jawab Mbah Karno, “tapi tidak hanya itu. Sebelum benih ditanam, tanahnya harus digemburkan, penuh lumpur, dan kadang airnya tak bersahabat. Itu perjuangan. Setelah padi tumbuh, hama datang, hujan bisa kurang atau malah terlalu banyak. Itu pengorbanan. Tapi pada akhirnya, ketika panen tiba, semua lelah terbayar. Itulah keberhasilan.”
Jagad terdiam. Ia tahu Mbah Karno tidak sedang bicara tentang sawah, melainkan tentang hidupnya sendiri.
“Mbah, tapi kadang aku merasa perjuangan itu terlalu panjang. Aku takut gagal di tengah jalan,” kata Jagad dengan nada rendah.
Mbah Karno tertawa kecil, suara beratnya pecah dalam keheningan malam. “Nak, siapa bilang keberhasilan itu soal sampai di tujuan? Keberhasilan itu soal bertahan di jalan yang kau pilih, meski kadang angin dan hujan menerpamu. Kau tahu, bambu itu kuat bukan karena ia keras, tapi karena ia lentur. Dia melawan angin dengan menyesuaikan diri.”
Jagad mengangguk perlahan. Ia ingat bagaimana ayahnya dulu bekerja keras sebagai buruh tani demi menyekolahkannya. Kini ia menjadi sarjana, tapi sering merasa tak cukup.
“Jadi, Mbah, menurut Mbah, keberhasilan itu bukan soal hasil akhirnya?”
Mbah Karno mengangguk. “Keberhasilan itu adalah setiap langkah kecil yang kau ambil, meski berat. Setiap kali kau bangun pagi meski malas, setiap kali kau mencoba lagi meski pernah gagal. Itu semua adalah keberhasilan yang sering kali kita abaikan.”
Jagad memandang langit malam yang bertabur bintang. Kata-kata Mbah Karno membangkitkan semangat dalam hatinya.
“Mbah, apa yang membuat Mbah selalu tenang, meski hidup Mbah penuh perjuangan?” tanyanya penasaran.
Mbah Karno tersenyum lebar, matanya menerawang ke arah sawah yang diam dalam kegelapan. “Aku selalu ingat bahwa setiap tetes keringatku adalah benih. Aku mungkin tidak selalu menikmati buahnya, tapi aku yakin, suatu hari nanti, generasi setelahku yang akan memetiknya. Seperti kau, Jagad.”
Jagad tercekat. Ia tak menyangka Mbah Karno melihatnya sebagai bagian dari perjuangan panjang itu. Malam yang tenang di depan surau menjadi saksi bagaimana dua generasi berbagi pelajaran hidup.
Dan di antara kepulan asap kretek serta pahitnya kopi, Jagad memahami satu hal: perjuangan dan pengorbanan adalah tanda hidup, sementara keberhasilan bukanlah akhir, melainkan perjalanan yang penuh makna.