Februari 2025 ini, kalau Pramoedya Ananta Toer masih hidup, beliau bakal genap 100 tahun. Bayangin, seratus tahun! Umurnya udah triple digit, lebih tua dari kebanyakan perusahaan startup yang sekarang baru belajar cari untung. Tapi meskipun raga beliau udah lama pergi, pikirannya masih hidup, karyanya masih dibaca, dan semangatnya masih nyala di hati banyak orang.
Buat yang pernah baca Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, atau yang lebih hardcore lagi kayak Hoakiau di Indonesia, pasti ngerti kenapa nama Pram segede itu di dunia sastra dan pergerakan. Tapi buat yang belum kenal (atau yang pura-pura kenal tapi baru mau googling sekarang), tenang, duduk sini, saya ceritain.
Pram dan Hidup yang Kayak Novel
Lahir di Blora, 6 Februari 1925, Pramoedya Ananta Toer tumbuh di tengah zaman kolonial yang keras. Sejak kecil, dia udah biasa lihat ketimpangan sosial, penjajahan, dan orang-orang kecil yang cuma bisa gigit jari sambil ngeliatin orang-orang gede makan enak. Dari sini mungkin benih-benih kemarahan dan idealisme Pram tumbuh.
Waktu remaja, Pram udah akrab sama buku, dan mungkin juga udah bisa nulis lebih bagus dari kita semua. Tapi hidupnya nggak mulus. Jepang masuk, situasi makin kacau, dan Pram yang masih muda ikut nyemplung dalam perjuangan melawan penjajah. Setelah Indonesia merdeka, dia makin aktif menulis dan bikin tulisan-tulisan kritis. Dan di sinilah drama hidupnya makin terasa.
Pram bukan tipe penulis yang adem-ayem cari aman. Dia keras, kritis, dan nggak takut ngomong apa yang dia yakini benar. Dan di Indonesia, sikap kayak gini sering kali bikin orang kena batunya. Tahun 1965, setelah pergolakan politik yang berujung pada pembersihan besar-besaran terhadap mereka yang dianggap berhaluan kiri, Pram kena getahnya. Tanpa pengadilan, dia dijebloskan ke Pulau Buru.
Pulau Buru: Penjara atau Ruang Kerja Rahasia?
Di Pulau Buru, Pram nggak punya laptop, nggak ada koneksi internet, dan nggak bisa ngetik di kafe sambil dengerin Spotify. Tapi dia tetep nulis. Dengan kertas seadanya, dengan pena atau apapun yang bisa dipakai, dia menciptakan karya besar yang nanti dikenal sebagai Tetralogi Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca.
Bayangin, di saat orang-orang lain diasingkan dan dipaksa untuk tunduk, Pram malah menjadikan pembuangannya sebagai tempat berkarya. Ini kayak lo dikunci di kamar tanpa HP dan Wi-Fi, tapi malah berhasil nulis buku yang nantinya jadi legenda.
Pram akhirnya dibebaskan pada tahun 1979, tapi bukan berarti hidupnya langsung nyaman. Dia tetap dalam pengawasan, dilarang ke luar negeri, dan karyanya sempat dilarang beredar. Tapi seperti yang kita tahu, ide itu nggak bisa dikurung. Buku-bukunya tetap sampai ke tangan pembaca, diam-diam atau terang-terangan.
Pram dan Anak Muda: Kenapa Kita Harus Peduli?
Di era TikTok dan podcast, mungkin ada yang nanya, “Ngapain sih baca Pramoedya? Berat, panjang, nggak relatable!” Eits, tunggu dulu.
Karya Pram itu bukan cuma cerita tentang masa lalu. Ini cerita tentang perjuangan, tentang orang-orang kecil yang berani melawan, tentang mimpi yang lebih besar dari diri sendiri. Kalau kamu pernah merasa frustrasi sama keadaan, kalau kamu pernah merasa suara kecilmu nggak ada gunanya, coba baca Bumi Manusia. Minke, tokoh utamanya, juga mulai sebagai anak muda yang ragu-ragu, tapi akhirnya berani menantang ketidakadilan.
Dan yang paling keren dari Pram? Dia nulis bukan buat keren-kerenan atau nyari ketenaran. Dia nulis karena dia percaya pada kebenaran. Dia percaya bahwa kata-kata punya kekuatan untuk mengubah dunia.
Seratus Tahun Pram, Lalu Apa?
Sekarang, 100 tahun sejak dia lahir, kita hidup di dunia yang beda dari zaman Pram. Tapi apakah perjuangannya selesai? Apakah kita udah sepenuhnya merdeka? Atau justru kita harus waspada karena sejarah bisa aja berulang?
Pram pernah bilang, “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah.” Dan lihatlah, Pram nggak hilang. Bahkan setelah satu abad, dia masih ada di antara kita, di setiap halaman bukunya yang masih dibaca, di setiap orang yang terus memperjuangkan kebenaran, dan di setiap anak muda yang nggak mau cuma jadi penonton sejarah.
Jadi, kalau hari ini kamu baru kenal Pram, anggap ini sebagai awal. Baca bukunya, pahami semangatnya, dan kalau bisa—tulis kisahmu sendiri. Karena siapa tahu, 100 tahun dari sekarang, namamu juga masih disebut-sebut seperti Pramoedya Ananta Toer.
Selamat ulang tahun ke-100, Pram. Terima kasih telah mengajarkan kami untuk tidak diam.